Mendengarkan dan merespon secara empatik adalah ketrampilan penting dalam berhubungan dengan orang lain. Sebagian besar dari manusia menghabiskan 70% waktunya untuk berkomunikasi, 45% dari waktu itu digunakan untuk mendengarkan. Kita semua ingin didengarkan. Adalah suatu penghinaan apabila kita diabaikan atau dilalaikan. Kita semua mengetahui apa artinya mendengarkan, sebenar-benarnya mendengarkan. Mendengarkan tidak berarti sekedar mendengar kata-kata, melainkan sungguh-sungguh menerima dan memahami pesan orang lain dan juga perasaan dan situasinya. Empati berarti memahami orang lain dengan sangat baik sehingga anda merasa seperti dirinya (pikiran & perasaan). Psikolog yang baik melakukan ini, demikian juga teman yang baik (Berger, 1987).
Tujuan mendengarkan dan berempati kepada orang lain:
- Menunjukkan anda peduli dan memahami orang lain. Dengan demikian orang akan senang berbincang dengan anda dan akan lebih terbuka.
- Jika anda salah mengerti, orang yang mengajak bicara dapat dengan seketika mengoreksi sehingga anda dapat belajar lebih banyak tentang orang.
- Pada umumnya mengarahkan percakapan ke arah topik emosional penting.
- Membiarkan orang yang mengajak bicara mengetahui bahwa anda menerima dia dan mempersilakannya untuk membicarakan topik yang lebih pribadi.
- Karena aman untuk berbincang tentang masalah yang mendalam, orang yang bicara dapat menyatakan perasaannya dan mengeksplorasi dirinya terkait dengan emosi yang terdalam
- Hal ini dapat mengurangi kejengkelan kita pada orang yang lain sebab kita memahami. Dengan memahami kita dapat memaafkan.
- Mungkin hal ini bahkan dapat mengurangi prasangka kita atau asumsi negatif tentang orang lain sebab kita menyadari bahwa kita harus mengetahui bagaimana sesungguhnya orang tersebut,
- Empati dapat mendorong persahabatan yang lebih berarti, lebih menolong dan lebih dekat.
Empati adalah salah satu dari ketrampilan penting yang perlu anda peroleh. Sangat sedikit orang yang dapat melakukannya dengan baik.
Langkah-langkah latihan berempati
Langkah Pertama: Belajarlah menjadi pendengar aktif yang baik.
Untuk mendengarkan kita perlu:
- Benar-benar ingin tahu tentang orang lain.
- Hindarilah penghalang yang sering mengganggu proses mendengarkan, seperti (1) terus menerus membandingkan diri anda dengan pembicara (Siapa lebih pandai? Siapa lebih kuat? Ini terlalu sulit buat saya…), (2) berusaha mengira-ira apa yang sebenarnya dipikirkan orang yang sedang bicara (Apakah ia benar-benar menyukai isterinya? Ia mungkin berpikir aku dungu jika menanyakan hal itu), (3) Merencanakan cerita atau argumentasi apa yang selanjutnya akan diberikan, (4) Filtering/ melakukan penyaringan sedemikian sehingga orang hanya mendengar topik tertentu atau tidak mendengar hal-hal yang kritis, (5) Judging/menghakimi suatu statemen sebagai hal yang ” bobrok/gila,” “membosankan,” ” dungu,” ” kekanakan,” ” berbahaya,” dan lain lain sebelum orang itu selesai bercerita, ( 6) Melamun sendiri, (7) Mengingat-ingat pengalaman pribadi kita sendiri sehingga tidak memperhatikan orang yang bicara, (8) Sibuk merencanakan saran yang akan diberikan jauh sebelum orang yang sedang bicara menyelesaikan ceritanya, (9) Menganggap setiap percakapan adalah debat intelektual yang tujuannya untuk menundukkan musuh, (10) Percaya bahwa anda selalu benar sehingga tidak perlu mendengarkan, (11) Cepat-cepat mengubah topik pembicaraan atau mentertawakannya jika topik menjadi serius, dan (12) “Berdamai” dengan otomatis mengiyakan segalanya (” Kamu adalah benar…tentu saja…saya setuju”) ( Mckay, Davis & Fanning, 1983).
Tidak mudah untuk mendengarkan dengan aktif sepanjang waktu. Konsentrasi kita bertahan hanya 15-20 menit, setelah itu perhatian kita bisa terpecah. Tetapi pendengar yang baik akan segera kembali ke jalur semula dan bertanya jika ada hal-hal yang kurang jelas. Yang terpenting, kita harus menjaga dari prasangka, pendapat yang closed-minded , defenses, dan takut salah yang biasanya justru menghalangi kita dari mendengarkan apa yang dikatakan. Kita juga harus memperhatikan ekspresi wajah dan gerak tubuh dari orang yang bercerita.
Langkah Kedua: Memahami Apa yang terlibat dalam memberi repon yang empatik
Pendengar yang baik harus memberi respon agar pembicara mengetahui bahwa dia dipahami. Memberi respon bahkan lebih rumit dibanding mendengarkan; tak seorangpun sempurna. Anda tidak harus sempurna, tetapi semakin akurat semakin baik. Pendengar yang baik akan fokus pada perasaan pembicara, bukan pada keadaan atau tindakannya. Contoh: Ketika bicara dengan seseorang yang baru saja ditinggalkan oleh kekasihnya, jangan tanyakan ” Apa yang telah dia katakan?” atau ” Sejak kapan kamu orang curiga ini akan terjadi?”
Sebaiknya kita perhatikan dan refleksikan perasaannya seperti “Ini benar-benar menyakitkan ya” atau ” Kamu pasti merasa ditinggalkan dan kehilangan.”
Fokus pada perasaan ini mendorong pembicara untuk menyelidiki inti masalahnya. Ketika kita memiliki masalah, kita harus membahas dan menangani perasaan kita dulu sebelum kita dapat berkonsentrasi pada memecahkan permasalahan.
Berikut ini adalah beberapa respon yang tidak empatik: Refleksi yang tidak akurat atau komentar yang mengacaukan.
- Mengubah topik pembicaraan: seorang teman sedang mengeluh tentang suatu tugas sekolah dan anda katakan, ” Ada film bagus nanti malam di TV.”
- Respon ” Aku tahu lebih baik daripada kamu”: Ini adalah respon prematur seperti ” Tak ada yang salah dengan kamu. Kamu akan merasa lebih baik besok” atau ” Masalah sesungguhnya adalah bahwa ibumu yang merusakmu” atau ” Kamu sedang jatuh cinta, sehingga kamu tidak bisa melihat keburukannya
- Judgmental responses: Seseorang menceritakan bahwa mereka minum beberapa bir semalam dan anda katakan, ” Aku berharap kamu tidak mengemudi, kalau tidak kamu bisa membunuh seseorang.” Ini mungkin adalah suatu reaksi yang bertanggung jawab tetapi itu bukan empatik
- Respon menasehati: Seorang pria berusia 35 tahun menceritakan bahwa ia ketakutan untuk kembali kuliah dan anda dengan seketika menceritakan kepadanya perguruan tinggi mana yang baik, jurusan apa yang sebaiknya diambil, buku apa yang perlu dibeli, dan lain lain
- Menganggap remeh dan menenteramkan hati secara prematur: Seorang teman menceritakan bahwa suaminya tidak pulang semalam dan anda berkomentar, ” Aduh, semua orang pernah mengalaminya, tidak usah khawatir. Ia akan pulang malam ini.” Ini seperti memberi tanda bahwa kita berkata, ” Jangan bicarakan lagi hal itu dengan aku.”
- Melakukan “Psychoanalysis”: Seorang teman pria menguraikan ketakutannya untuk menikah dan anda menjelaskan kepadanya bahwa ia terlalu terlibat secara emosional dan bahwa ia ketakutan bahwa seorang isteri akan mendominasi dan “mencekiknya” seperti ibunya melakukan hal itu. Ini mungkin benar, tetapi biarkan dia mengeksplor dirinya dan menemukannya sendiri.
- Mempertanyakan hal-hal yang tidak tepat: Seorang teman mengisyaratkan beberapa masalah dalam keluarganya dan anda mulai menyelidik, ” Apakah kalian sudah membicarakannya?” ” Pernahkah kalian pergi sama-sama?” Pertanyaan yang mengarahkan percakapan tidak terlalu baik; biarkan orang yang bicara menceritakan dengan jalannya sendiri. Di sisi lain, mempertanyakan sesuatu untuk memperjelas apa yang diuraikan orang yang bicara tidak sama dengan mengendalikan, hal itu bahkan dapat mendorong pembicara untuk berbicara lebih banyak.
- Menceritakan pengalaman anda sendiri: Masalah teman itu mengingatkan anda pada suatu pengalaman serupa yang ingin anda bagi. Hal itu tidak salah, kecuali jika anda kemudian terlalu asyik sehingga lupa untuk segera kembali ke masalah teman anda tadi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar